Tech Bubble, Salah Siapa?

Opini pribadi tentang kehebohan dunia startup teknologi akhir-akhir ini.

bisnis

Satu minggu belakangan ini dunia startup teknologi sedang dikejutkan dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masal. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa perusahaan teknologi di Eropa dan juga Amerika Serikat. Alasan yang sering dibahas adalah efisiensi, karena pendapatan yang diterima perusahaan dari pelanggan mereka tidak sebanding dengan pengeluaran seperti gaji karyawan dan biaya akuisisi pelanggan.

Lebih besar pasak daripada tiang. — peribahasa Indonesia

Burung camar laut sedang mengamati suasana sekitarnya.
Burung camar laut yang sedang mengamati suasana sekitarnya.

Dari sekian banyak berita dan opini, ada satu yang menggelitik saya di Twitter. Yaitu soal konsumen, media, dan talenta teknologi (karyawan) memiliki andil dalam menciptakan situasi tech bubble saat ini. Saya akan embed cuitannya yang ada gambarnya, karena sepertinya cuitan yang ini adalah klarifikasi dari cuitan sebelumnya.

Gambar penjelasannya menurut saya memang benar. Memang seperti itu lah kenyataannya. Semua punya andil, tapi siapa yang memiliki andil paling besar dalam menciptakan situasi ini? Ya tentu saja pengusahanya. Pengusaha adalah pihak pertama yang punya pilihan untuk:

  1. Mengembangkan usahanya secara sustainable (berkelanjutan) yang mana biasanya perkembangannya akan lebih lambat.
  2. Atau, mengembangkan usahanya dengan kecepatan tinggi untuk mengakuisisi pelanggan secepat-cepatnya dan mengandalkan aneka macam promo walaupun itu belum tentu baik untuk keuangan perusahaan.

Jika pengusaha menjatuhkan pada pilihan nomor dua, tentu saja akan membutuhkan modal besar. Akhirnya pengusaha akan mencari modal ke investor. Lalu investor akan menuntut growth yang cepat.

Untuk mendapatkan growth yang cepat, pengusaha tentu akan membutuhkan karyawan dalam jumlah besar. Tentu saja untuk menarik karyawan agar mau bergabung dengan perusahaan, maka pengusaha akan memberikan benefit dan gaji yang menarik. Terus apakah karyawan harus menolak gaji besar agar tidak turut serta dalam menciptakan tech bubble? Ini pertanyaan retoris.

Lalu di mana peran media? Untuk memasarkan jasa dan produknya, serta mengiklankan aneka macam promo tentu saja perusahaan akan membutuhkan media. Baik berbayar atau pun tidak. Mengirimkan press release (rilis media) adalah salah satu caranya. Apakah media harus menolak agar tidak menciptakan tech bubble? Sepertinya juga tidak ya, karena media membutuhkan berita dan pemasukan juga.

Terakhir adalah peran konsumen. Untuk yang satu ini, saya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Steve Jobs.

People don’t know what they want until you show it to them.
Steve Jobs, pendiri Apple.

Menurut pendapat saya, kalau pengusaha tidak pernah memperkenalkan aneka macam promo menarik dan aneka macam tarif murah, konsumen juga tidak akan berburu promo. Mereka akan tetap membeli barang dan jasa, tapi tentu dengan lebih hati-hati apakah kualitasnya setara dengan uang yang dikeluarkan.

Permasalahannya adalah jika konsumen sudah dibuat kecanduan dengan tarif murah dan aneka macam promo, maka ketika perusahaan akan menaikkan harga tentu akan sulit. Bisa jadi akan semakin banyak konsumen yang meninggalkan barang dan jasa tersebut, karena yang konsumen lihat sekarang adalah harga bukan lagi kualitas.

Penutup

Kesimpulan saya, peran terbesar tetap ada pada pengusaha. Pilihan ada di tangan mereka mau memilih jalan yang mana untuk mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya mereka juga lah yang akan membentuk pasar. Tidak ada jalur yang benar atau salah, tapi setiap jalur memiliki konsekuensinya masing-masing.