Jangan Deploy Di Hari Jumat?

Hal yang saya pelajari setelah satu tahun bekerja di perusahaan di Estonia.

pemrograman

Sebagai pemrogram yang bekerja di suatu perusahaan, pasti pernah mendengar atau bahkan akrab dengan kalimat ini, “Jangan deploy ke production di hari Jumat, apalagi Jumat sore.” Alasannya akibat takut jika setelah melakukan deployment kode baru kemudian terjadi error maka itu berarti akan menjadi Jumat malam yang panjang. Lembur mencari apa yang salah dan harus diperbaiki.

Saya juga dulu menganut hal yang sama. Menghindari melakukan deployment fitur baru di hari Jumat. Mentalitas itu masih terbawa hingga awal-awal bekerja di Estonia, dan saya ditugaskan ke dalam misi pertama saya untuk membangun fitur baru. Proses pengembangan dan pengetesan sudah selesai, saatnya deployment.

Ketika itu sudah Jumat sore, sekitar jam 4. Saya bertanya ke manajer, “Apa tidak sebaiknya kita deploy hari Senin pagi saja?” Manajer saya paham dengan ketakutan saya. Dia berkata, “Fiturnya sudah dites? Sudah dapat lampu hijau dari QA kan? Kamu tidak percaya diri dengan kode yang kamu tulis?” Lalu dia lanjut dengan, “Di sini, deployment itu bisa kapan saja dan tidak perlu ada ritual khusus dan rasa takut.”

Akhirnya dia lanjut memberi tahu bagaimana pola kerja yang ada di kantor dapat berpengaruh untuk membangun rasa percaya diri setiap pemrogram. Agar tidak perlu ada ketakutan melakukan deployment kapan saja.

Tidak ada staging server di kantor

Di kantor saya saat ini, hanya ada dua environment yaitu development dan production. Dulu katanya pernah ada staging, tapi ternyata dengan adanya staging malah menyebabkan adanya ritual jadwal khusus untuk melakukan deployment karena semua fitur ditumpuk di sana.

Dengan hanya ada dua environment, akhirnya ini mengubah cara kerja para pemrogram. Setiap Pull-Request akan langsung menghasilkan branch URL yang bisa dites, misal fitur-a.testdomain.com. Lalu saat PR tersebut di-merge ke master, maka otomatis akan langsung ter-deploy ke production.

Pull-Request sekecil dan sespesifik mungkin

Akibat hanya ada dua environment, para pemrogram dituntut memecah fitur atau tugas menjadi PR sekecil mungkin. Hal ini memudahkan kolega lain yang melakukan review kode, dan juga memudahkan untuk mengawasi production. Apakah setelah PR dimasukkan ke master mengakibatkan masalah di production atau tidak.

Contoh saat membuat API endpoint baru, maka PR-nya bisa dipecah dimulai dari sekadar mendeklarasikan skema GraphQL-nya dulu (kantor saya menggunakan GraphQL.) Lalu setelah itu baru field resolver dan logika bisnisnya. Kuncinya sebisa mungkin PR tersebut kecil dan bisa dites.

Menggunakan feature toggle sebagai pengganti staging

Untuk menggantikan fungsi staging server, di kantor menggunakan feature toggle. Jadi di production dibuatkan akun-akun pengguna khusus untuk pengetesan, dan fitur yang sedang dibangun hanya akan tersedia khusus di akun tersebut.

Feature toggle memudahkan pengetes dan pemrogram sendiri, karena tes keseluruhan fitur dilakukan langsung dengan environment yang sama persis dengan production. Lalu ketika sudah oke semua, hanya dengan satu tombol maka otomatis seluruh pengguna di production akan mendapat fitur tersebut. Kalau pun ada edge cases sehingga membuat production menjadi down atau tidak bisa digunakan, maka tinggal aktifkan lagi feature toggle-nya dan lakukan perbaikan untuk cover masalah tersebut.

Baru setelah fitur tersebut dinyatakan stabil, biasanya satu minggu setelah deployment, maka feature toggle tersebut dibuang permanen termasuk kode-kode lama yang dibungkus oleh feature toggle tersebut. Monitoring tools memegang peranan penting di fase ini.

Berbagi pengetahuan dengan kolega lain

Saat melakukan pengembangan fitur, akan selalu ada kolega yang menjadi reviewer PR, sekalipun kolega tersebut tidak coding di tugas yang sama. PR tidak akan bisa di-merge tanpa ada persetujuan. Hal ini membuat setiap pemrogram jadi mengetahui kolega lain sedang membangun apa. Jadi saat terjadi masalah di production dan pemrogram utamanya tidak ada karena cuti, sakit, atau meninggal, maka anggota tim lain bisa mengambil alih. Mungkin proses debugging-nya tidak akan secepat saat pemrogram utama yang melakukan, tapi setidaknya setiap orang bisa kapan saja mengambil alih tugas tersebut.

Bagian dalam dari wind mill di Saaremaa.
Ilustrasi sebuah sistem yang saling berkaitan.

Dengan pola kerja yang seperti ini, maka tidak ada lagi rasa takut saat melakukan deployment. Bahkan saya beberapa kali melakukan deployment, di sore hari tepat sebelum besoknya saya mengambil cuti selama 2 minggu penuh. Kalau pun tiba-tiba ada masalah, pemrogram yang sedang liburan tetap tidak akan diganggu kecuali betul-betul anggota tim lain tidak ada petunjuk. Itu pun biasanya cuma meminta beberapa petunjuk lewat Slack apa yang harus dicek. Tidak akan ketika sedang liburan tiba-tiba disuruh buka laptop dan membereskan masalah.