Bertukar Pesan Melalui Kartu Pos

Pada bulan Juli 2022, saya mengobrol dengan beberapa teman di sebuah grup chat tentang nostalgia menunggu tukang pos datang membawa surat dari para sahabat.

pribadi

Orang-orang yang terlahir di tahun 1981-1996 atau biasa disebut generasi milenial (Generasi Y) adalah generasi transisi antara kehidupan yang serba analog dan digitalisasi berkat adanya internet dan telepon selular. Apalagi jika kamu milenial yang terlahir sebelum tahun 1990, besar kemungkinan masa kecil dan remajamu masih sempat mengalami banyak hal analog untuk berkomunikasi seperti telepon kartu, telepon koin, berkirim surat, atau malah sempat punya sahabat pena.

Sewaktu masih kecil, saya selalu berpindah-pindah kota setiap 3-4 tahun sekali mengikuti ayah saya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil. Alhasil teman-teman masa kecil saya tersebar di beberapa kota. Telepon interlokal saat itu masih mahal tarifnya, akhirnya saya menggunakan surat dan kartu ucapan lewat kantor pos untuk berkomunikasi dengan teman-teman di kota lain.

Tentu saja proses komunikasi lewat surat ini sangat lama. Bayangkan menunggu balasan surat dari Jawa Timur ke Papua (waktu itu saya tinggal di Jayapura), bisa menghabiskan waktu beberapa minggu. Pak Pos adalah sosok yang ditunggu-tunggu.

Tumpukan kartu pos.
Kartu pos yang saya cetak dari hasil foto-foto saya.

Bulan Juli 2022, saya mengobrol dengan beberapa teman yang seumuran di sebuah grup chat soal serunya zaman dulu berkirim kartu lebaran dan kartu pos. Grup chat ini juga ada karena kita sama-sama pernah tinggal di Bali dan Jakarta, dan sekarang beberapa orang sudah berpindah tempat lagi. Ada teman di Jakarta yang sudah pindah ke Amerika Serikat, ada yang dari Bali sudah pindah ke Portugal, termasuk saya yang sudah pindah ke Estonia dari Bali, dan ada juga yang pindah dari Bali ke Jakarta.

Saat itu saya berkata, “Kadang suka pengen kirim-kiriman kartu pos lagi. Dulu terakhir kirim begituan kartu lebaran tahun 2011-an. Ke teman-teman sosmed yang pada mau tukeran kartu lebaran.”

Ternyata ada teman yang menyahut, “Kirim kiriman lah. 2019 aku masih minta dikirimin kartu pos dari temen di Belanda. Masih tak simpan 😆 Kalau fisik sekarang rasanya lebih spesial aja. Karena pake effort lebih kali ya.”

Lalu teman yang di Amerika Serikat pun membalas, “Aku dulu terakhir tukar-tukaran pas awal pandemi, pas bos nya USPS yg ditunjuk Trump parah banget mau matiin kantor pos. Jadi pada beli perangko untuk memberi sedikit dukungan.”

Karena ternyata ada beberapa teman yang juga ingin saling berkirim-kirim pesan lewat kantor pos, akhirnya kami sepakat untuk saling bertukar kartu pos. Kartu pos jatuh sebagai pilihan karena biasanya memiliki desain atau foto-foto unik dari kota atau negara pengirim.

Saat itu saya langsung terpikir untuk membuat kartu pos sendiri, karena saya punya banyak sekali foto-foto pemandangan beberapa tempat di Estonia yang saya ambil ketika bersepeda atau liburan ke luar kota. Mulai dari Tallinn hingga beberapa kota lainnya.

Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari di mana tempat untuk mencetak kartu pos sendiri. Setelah googling percetakan di Tallinn, saya menemukan beberapa percetakan yang bisa mencetak kartu pos. Sayangnya, semua percetakan tersebut biaya cetaknya terlalu mahal jika saya mencetak secara satuan dengan foto yang berbeda-beda. Dengan kata lain, mencetak 10 kartu pos dengan 10 foto berbeda harganya jauh lebih mahal dibanding mencetak 10 kartu pos dengan 1 foto yang sama.

Akhirnya saya berpikir lagi untuk mencari penyedia jasa print-on-demand, alih-alih percetakan biasa. Print-on-demand mampu mencetak secara satuan dengan desain yang berbeda-beda, dengan harga yang terjangkau. Tidak apa-apa sekalipun perusahaannya bukan di Estonia, yang penting harga cetak dan ongkos kirimnya masih terjangkau.

Setelah menimbang-nimbang beberapa print-on-demand yang bisa mencetak kartu pos, akhirnya pilihan saya jatuh kepada Printful. Harga cetak masih masuk di bujet saya, dan ongkos kirimnya hanya 4€ karena pengirimannya dari Latvia. Latvia adalah negara tetangga di sebelah selatan Estonia.

Saat itu saya mencoba cetak dulu 5 lembar, ternyata hasilnya kurang bagus. Tentu saja kesalahan bukan pada print-on-demand, tetapi dari saya sendiri yang kurang pandai mengatur desainnya. Maklum baru pertama kali melakukan cetak kartu pos.

Saya merasa hasil cetak tersebut kurang layak untuk dikirimkan ke teman-teman. Alhasil saya memutuskan untuk mencetak iterasi desain kedua. Menunggu lagi sekitar seminggu untuk mendapatkan hasil cetaknya sampai ke rumah saya.

Ketika saya masih menunggu kartu pos saya selesai dicetak, satu kartu pos dari teman di Chicago, Amerika Serikat pun tiba. Memang rasanya sangat berbeda ketika melihat tulisan tangan dari teman yang ada di kartu pos tersebut dibanding melihat ketikan di layar komputer atau HP. Apalagi melihat kartu pos tersebut sudah agak lusuh dan terlipat-lipat di ujungnya akibat proses pengiriman yang sangat panjang. Saya jadi ingin benar-benar menyimpannya dengan baik.

Kartu pos dari Chicago.
Kartu pos dari Chicago, Amerika Serikat.

Pesanan kartu pos saya akhirnya tiba.

Kesulitan berikutnya adalah, “Saya harus menulis apa di kartu pos ini?” 😅 Rumit karena setiap hari kita sudah mengobrol lewat grup chat, maka jika bertanya kabar lagi lewat kartu pos kok rasanya basi dan tidak relevan. Setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk menuliskan sedikit cerita di balik foto yang saya ambil yang ada di kartu pos.

Setelah pesan selesai ditulis, saya pun segera ke kantor pos untuk mengirimkan kartu pos tersebut. Saya jadi tahu ternyata ongkos kirim kartu pos internasional ternyata tidak mahal. Biaya perangkonya hanya 1,9€ saja untuk mengirim ke Amerika Serikat, Portugal, dan Indonesia.

Kartu pos dari Estonia.
Kartu pos yang saya kirimkan dari Estonia.

Sepulang dari kantor pos, saya iseng mengecek kotak pos saya, “Wah, ternyata ada kartu pos dari teman yang tinggal di Braga, Portugal.” Sama seperti kartu pos sebelumnya yang saya terima, kartu pos yang ini pun sudah lecek. Jadi terasa makin indah di mata saya. 😆

Kartu pos dari Braga, Portugal.
Kartu pos dari Braga, Portugal.

Gara-gara kegiatan saling bertukar kartu pos ini saya jadi belajar beberapa hal:

  1. Foto-foto yang saya potret ternyata lebih indah dan hidup saat dicetak dibandingkan jika dinikmati di Instagram.
  2. Setelah sering berkomunikasi secara digital dan instan, ternyata saat menerima kiriman lewat kantor pos sensasinya terasa berbeda. Lebih spesial saja.
  3. Saya jadi paham di mana bisa mencetak kartu pos sendiri dengan harga terjangkau.
  4. Mendapat pengalaman bagaimana mengirimkan surat lewat kantor pos di Estonia.

Satu manfaat lagi yang saya rasakan, sekarang saya jadi mencoba untuk menjual hasil karya-karya foto saya dalam bentuk kartu pos. Kamu bisa kunjungi toko saya, Live In Estonia, di Etsy.